Selasa, 26 Februari 2013
DETIK-DETIK WAFATNYA RASULULLAH SAW
Assalamu alaikum wr.wb
Dengan di awali Bismillahirohmanirohim :
WAHAI ikhwah...
Detik-detik Rasulullah SAW Menghadapi Sakaratul Maut Ada sebuah kisah tentang cinta yang
sebenar-benar cinta yang dicontohkan Allah melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, walaupun
langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.
Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbatas memberikan kutbah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-
Nya.Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya.
Kuwariskan dua perkara pada kalian, Al Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku,bererti
mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku.” Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang tenang danvpenuh
minat menatap sahabatnya satu persatu.
Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca,Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya.Usman menghela nafas panjang dan
Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah
akan meninggalkan kita semua,”keluh hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir selesai
menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang
berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Disaat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-
detik berlalu.
Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah
Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya,Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang
berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan
salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya.
Tapi Fatimah tidakmengizinkannya masuk,“Maafkanlah,ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang
membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya
pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu,Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian
demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan
sementara, dialah yang memisahkan
pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril
yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia
ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu
ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega,matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar khabar ini?”
Tanya Jibril lagi.
“Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku
kelak?”
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:
‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad
telah berada di dalamnya,” kata Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas.Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak
seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh,urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”Perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan
muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat
pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik,kerana sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya
Allah,dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.
“Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan
hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.
“Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku,peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang
lemah di antaramu.”
Di luar pintu tangis mulai terdengar
bersahutan,sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan
tangan di wajahnya, dan Ali kembali
mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulaibkebiruan.
“Ummatii, ummatii, ummatiii?” – “Umatku,umatku,umatku” Dan, berakhirlah hidup manusia mulia
yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?
Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi.
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesedaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai
kita. Kerana sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka.
Note : untuk membaca sejarah lainnya pilih Beranda.ada d bawah halaman ini.
Dengan di awali Bismillahirohmanirohim :
WAHAI ikhwah...
Detik-detik Rasulullah SAW Menghadapi Sakaratul Maut Ada sebuah kisah tentang cinta yang
sebenar-benar cinta yang dicontohkan Allah melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, walaupun
langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.
Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbatas memberikan kutbah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-
Nya.Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya.
Kuwariskan dua perkara pada kalian, Al Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku,bererti
mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku.” Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang tenang danvpenuh
minat menatap sahabatnya satu persatu.
Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca,Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya.Usman menghela nafas panjang dan
Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah
akan meninggalkan kita semua,”keluh hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir selesai
menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang
berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Disaat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-
detik berlalu.
Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah
Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya,Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang
berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan
salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya.
Tapi Fatimah tidakmengizinkannya masuk,“Maafkanlah,ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang
membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya
pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu,Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian
demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan
sementara, dialah yang memisahkan
pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril
yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia
ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu
ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega,matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar khabar ini?”
Tanya Jibril lagi.
“Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku
kelak?”
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:
‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad
telah berada di dalamnya,” kata Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas.Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak
seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh,urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”Perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan
muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat
pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik,kerana sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya
Allah,dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.
“Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan
hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.
“Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku,peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang
lemah di antaramu.”
Di luar pintu tangis mulai terdengar
bersahutan,sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan
tangan di wajahnya, dan Ali kembali
mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulaibkebiruan.
“Ummatii, ummatii, ummatiii?” – “Umatku,umatku,umatku” Dan, berakhirlah hidup manusia mulia
yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?
Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi.
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesedaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai
kita. Kerana sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka.
Note : untuk membaca sejarah lainnya pilih Beranda.ada d bawah halaman ini.
KISAH WAFATNYA SUNAN GUNUNG JATI
(pupuh LVI.13 - LVIII.06)
Diceritakan kemudian bahwa pada suatu
hari Sinuhun Gunung Jati berkeinginan
untuk menyendiri di tempat yang sepi.
Sinuhun pergi dengan membawa serta
kerisnya Sangyang Naga. Sinuhun sudah
mengetahui bahwa ajalnya sudah
mendekat. Dia pergi ke Gunung Jati dan
duduk bertafakur disana, di Gunung Jati
yang di sebelah timur itu. Kemudian
Sinuhun menulis surat dengan
menggunakan daun sebagai kertasnya,
surat itu ditujukan kepada anaknya di
Banten yang isinya berbunyi, "He Sunan
Sebakingkin, itu cucumu yang bernama
Kapil [nama panggilan untuk Maulana
Muhammad] suruhlah dia pergi
menunaikan ibadah haji, sebab dialah
yang kelak akan menjadi raja.
Sepulangnya menunaikan ibadah haji,
segeralah dinobatkan, karena setelah itu
engkau dan demikian juga anakmu tidak
akan lama memerintah. Oleh karena itu
Muhammad Kapil besok yang akan
menjadi raja dan yang akan
mendapatkan wasiatnya Nabi".
Daun itu digulung dan diikatkan
pada keris yang kemudian melesat
terbang ke angkasa. Keris itu terbang
dengan cepat, cahayanya terang
bagaikan andaru (bintang jatuh) di
tengah malam. Sesampainya di Banten
keris itu turun di istana Banten. Semua
yang ada di Dalem Puri terkejut
melihatnya, mereka mengira bahwa ada
bintang jatuh. Keris tersebut jatuh di
hadapan Pangeran Sebakingkin. Dengan
penuh ketakjuban Sunan Banten melihat
keris yang jatuh di hadapannya itu, dia
mengetahui bahwa itu adalah Keris
Sangyang Naga milik ayahandanya.
Segera surat itu dibacanya, yang isinya
minta agar cucunya disuruh naik haji.
Sunan Banten menyetujui
keinginan wali, ayahandanya, dan Sunan
Banten pun segera membuat surat
balasannya. Surat balasan itu ditulis
diatas kertas perak dan bertuliskan
dengan tinta emas indah. Isi suratnya
berbunyi, "Ayahanda wali, sang cucu
akan hamba suruh menunaikan ibadah
haji, pesan akan ananda laksanakan".
Setelah selesai ditulis, kemudian surat itu
dibungkus dengan kesturi wulung , dan
diikatkan kembali pada keris itu. Sang
keris pun segera terbang lagi ke angkasa
bagaikan burung, dan tidak dikisahkan
perjalanannya, keris itu telah tiba
kembali di Gunung Jati. Tibanya pada
waktu tengah malam, Sinuhun melihat
surat balasan yang ditulis dengan amat
indah. Sinuhun berkata, "Inilah ciri dari
kesombongan dan hati yang takabur.
Seberapa lamanya kita dalam hidup ini
akan berkuasa, pasti tidak akan
selamanya. Lama kekuasaan
keturunanku di Banten kelak tak akan
lebih dari sembilan keturunan".
Setelah berkata demikian, Sunan
Gunung Jati lalu merebahkan dirinya di
tanah sambil melipat tangan diatas
dadanya. Dia berbaring di tanah
beralaskan daun Rudamala, dan
berbantalkan batu. Kepalanya berada di
arah timur sedangkan kakinya di arah
barat, seperti layaknya tengah melakukan
shalat. Ketika tiba waktunya makan
sahur, Sinuhun Gunung Jati meninggal
dunia. Pada waktu itu Sinuhun usianya
genap seratus dua puluh tahun. Sunan
Kalijaga segera memberitahukan berita
duka cita itu kepada seluruh sanak
keluarga. Semua telah diberitahu bahwa
Sinuhun Jati telah meninggal di Gunung
Kentaki. Sebagai pembawaan seorang
Wali utama, alam dunia ikut berduka cita
atas kepergiannya.
Dedaunan jatuh berguguran,
hewan-hewan berbunyi saling
bersahutan, air bergelora dan lautan
menjerit bergemuruh bergantian dengan
gempa yang bergetar dengan suara yang
menakutkan. Alam dunia bagaikan akan
roboh, batuan krikil bergemeletuk dan
terdengar suara beraneka macam. Tanah
menjadi gembur dan seluruh isi hutan
riuh berbunyi. Bergelegar suara gunung,
bergema berkumandang di langit. Sang
surya panas membara, sang bulan begitu
pula. Semua yang ada di dunia bagaikan
menangis. Tidak lama kemudian turun
para malaikat dari langit ke atas Gunung
Jati. Para malaikat itu kemudian
membawa jenazah Sinuhun naik ke
langit.
Setelah tersiar berita duka cita
itu, para santri dan para sanak saudara
semua menangis dengan sedihnya,
mereka bingung ketika mengetahui
bahwa jenazah Sinuhun telah tiada.
Suasana saat itu hiruk pikuk, canang Ki
Bicak berbunyi bertalu-talu tanpa ada
yang menabuh. Para santana mantri
semuanya pergi menuju ke Gunung
Sembung. Yang pergi ke Gunung Jati,
hanyalah Sunan Kalijaga, Syekh Datuk
Khapi, dan Pangeran Makdum saja.
Ketika mereka tiba di situ jenazahnya
sudah tidak ada, yang tinggal tergeletak
di tanah hanyalah wangkingan (ikat
pinggang) dan jubah Sinuhun saja.
Begitulah Sunan Kalijaga segera
menyingsingkan lengan bajunya untuk
menggali liang lahat. Syekh Datuk Khapi
datang dan minta untuk menggantikan,
demikian juga halnya dengan Pangeran
Makdum. Akan tetapi Sunan Kali berkata,
"Biarlah kalian jangan ikut-ikut, biar aku
sendiri saja yang menguburkan pakaian
itu". Akhirnya selesai sudah pakaian
Sinuhun dikuburkan di sana dengan
sempurna, yaitu di Gunung Kentaki yang
di sebelah timur itu. Akan tetapi bentuk
kuburannya tak terlihat karena diratakan
lagi dengan tanah. Hanya tandanya ialah
bahwa tak akan ada daun yang jatuh
keatas kuburan ini.
Sementara itu Tubagus Pase
datang ke Gunung Kentaki yang di
sebelah barat bersama para sentana
mantri. Mereka berkumpul di tempat itu
dan mereka menemukan bahwa jenazah
sudah tidak ada lagi, yang masih ada di
sana hanya Keris Naga dan Tasbih
Sinuhun. Sang keris menggelantung di
udara, merah membara bagaikan bintang
jatuh, sedangkan tasbihnya kemudian
dikuburkan di bumi mulia. Tempat itu
kemudian direka-reka menjadi berbentuk
makam, di Gunung Sembung. Terkenal
diantara rakyat kecil bahwa Sinuhun
Aulia, dimakamkan di Gunung Jati yang
di sebelah Barat itu, di tempat mana
dahulu beliau tinggal. Adapun Nyi Mas
Putri Jangkung, kemudian tinggal disana
menunggui kuburan suaminya dengan
penuh kasih sayang. Adapun Keris
Sangyang Naga kemudian terbang
melesat ke langit bagaikan bintang dan
jatuh masuk ke Dalem Agung, dan Keris
Sangyang Naga itu menghilang disana.
Catatan: Mengenai waktu wafatnya
Syarif Hidayatullah, ada beberapa
pendapat. Dalam History of Java ditulis
bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada
tahun 1428 Saka (1506 M) dalam "usia
yang sangat lanjut", tahun tersebut tidak
tepat karena pada waktu perang dengan
Galuh Pajajaran (Bab XXII) dimana
Sunan Gunung Jati masih berperan.
Dalam Negarakertabhumi, dan demikian
juga dalam Purwaka Caruban Nagari
bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada
tanggal 11 Kresna-paksa, bulan
Badramasa tahun 1490 Caka (1568 M),
Sumber lainnya menyebutkan bahwa
Sunan Gunung Jati wafat pada tanggal
12 bagian terang, bulan Badra tahun
1490 Saka atau 19 Septem-ber 1568 M.
(Hasil alih aksara dan alih bahasa dari
naskah-naskah lama mengenai Babad
Cirebon dan Pajajaran post by Amman
W)
Diceritakan kemudian bahwa pada suatu
hari Sinuhun Gunung Jati berkeinginan
untuk menyendiri di tempat yang sepi.
Sinuhun pergi dengan membawa serta
kerisnya Sangyang Naga. Sinuhun sudah
mengetahui bahwa ajalnya sudah
mendekat. Dia pergi ke Gunung Jati dan
duduk bertafakur disana, di Gunung Jati
yang di sebelah timur itu. Kemudian
Sinuhun menulis surat dengan
menggunakan daun sebagai kertasnya,
surat itu ditujukan kepada anaknya di
Banten yang isinya berbunyi, "He Sunan
Sebakingkin, itu cucumu yang bernama
Kapil [nama panggilan untuk Maulana
Muhammad] suruhlah dia pergi
menunaikan ibadah haji, sebab dialah
yang kelak akan menjadi raja.
Sepulangnya menunaikan ibadah haji,
segeralah dinobatkan, karena setelah itu
engkau dan demikian juga anakmu tidak
akan lama memerintah. Oleh karena itu
Muhammad Kapil besok yang akan
menjadi raja dan yang akan
mendapatkan wasiatnya Nabi".
Daun itu digulung dan diikatkan
pada keris yang kemudian melesat
terbang ke angkasa. Keris itu terbang
dengan cepat, cahayanya terang
bagaikan andaru (bintang jatuh) di
tengah malam. Sesampainya di Banten
keris itu turun di istana Banten. Semua
yang ada di Dalem Puri terkejut
melihatnya, mereka mengira bahwa ada
bintang jatuh. Keris tersebut jatuh di
hadapan Pangeran Sebakingkin. Dengan
penuh ketakjuban Sunan Banten melihat
keris yang jatuh di hadapannya itu, dia
mengetahui bahwa itu adalah Keris
Sangyang Naga milik ayahandanya.
Segera surat itu dibacanya, yang isinya
minta agar cucunya disuruh naik haji.
Sunan Banten menyetujui
keinginan wali, ayahandanya, dan Sunan
Banten pun segera membuat surat
balasannya. Surat balasan itu ditulis
diatas kertas perak dan bertuliskan
dengan tinta emas indah. Isi suratnya
berbunyi, "Ayahanda wali, sang cucu
akan hamba suruh menunaikan ibadah
haji, pesan akan ananda laksanakan".
Setelah selesai ditulis, kemudian surat itu
dibungkus dengan kesturi wulung , dan
diikatkan kembali pada keris itu. Sang
keris pun segera terbang lagi ke angkasa
bagaikan burung, dan tidak dikisahkan
perjalanannya, keris itu telah tiba
kembali di Gunung Jati. Tibanya pada
waktu tengah malam, Sinuhun melihat
surat balasan yang ditulis dengan amat
indah. Sinuhun berkata, "Inilah ciri dari
kesombongan dan hati yang takabur.
Seberapa lamanya kita dalam hidup ini
akan berkuasa, pasti tidak akan
selamanya. Lama kekuasaan
keturunanku di Banten kelak tak akan
lebih dari sembilan keturunan".
Setelah berkata demikian, Sunan
Gunung Jati lalu merebahkan dirinya di
tanah sambil melipat tangan diatas
dadanya. Dia berbaring di tanah
beralaskan daun Rudamala, dan
berbantalkan batu. Kepalanya berada di
arah timur sedangkan kakinya di arah
barat, seperti layaknya tengah melakukan
shalat. Ketika tiba waktunya makan
sahur, Sinuhun Gunung Jati meninggal
dunia. Pada waktu itu Sinuhun usianya
genap seratus dua puluh tahun. Sunan
Kalijaga segera memberitahukan berita
duka cita itu kepada seluruh sanak
keluarga. Semua telah diberitahu bahwa
Sinuhun Jati telah meninggal di Gunung
Kentaki. Sebagai pembawaan seorang
Wali utama, alam dunia ikut berduka cita
atas kepergiannya.
Dedaunan jatuh berguguran,
hewan-hewan berbunyi saling
bersahutan, air bergelora dan lautan
menjerit bergemuruh bergantian dengan
gempa yang bergetar dengan suara yang
menakutkan. Alam dunia bagaikan akan
roboh, batuan krikil bergemeletuk dan
terdengar suara beraneka macam. Tanah
menjadi gembur dan seluruh isi hutan
riuh berbunyi. Bergelegar suara gunung,
bergema berkumandang di langit. Sang
surya panas membara, sang bulan begitu
pula. Semua yang ada di dunia bagaikan
menangis. Tidak lama kemudian turun
para malaikat dari langit ke atas Gunung
Jati. Para malaikat itu kemudian
membawa jenazah Sinuhun naik ke
langit.
Setelah tersiar berita duka cita
itu, para santri dan para sanak saudara
semua menangis dengan sedihnya,
mereka bingung ketika mengetahui
bahwa jenazah Sinuhun telah tiada.
Suasana saat itu hiruk pikuk, canang Ki
Bicak berbunyi bertalu-talu tanpa ada
yang menabuh. Para santana mantri
semuanya pergi menuju ke Gunung
Sembung. Yang pergi ke Gunung Jati,
hanyalah Sunan Kalijaga, Syekh Datuk
Khapi, dan Pangeran Makdum saja.
Ketika mereka tiba di situ jenazahnya
sudah tidak ada, yang tinggal tergeletak
di tanah hanyalah wangkingan (ikat
pinggang) dan jubah Sinuhun saja.
Begitulah Sunan Kalijaga segera
menyingsingkan lengan bajunya untuk
menggali liang lahat. Syekh Datuk Khapi
datang dan minta untuk menggantikan,
demikian juga halnya dengan Pangeran
Makdum. Akan tetapi Sunan Kali berkata,
"Biarlah kalian jangan ikut-ikut, biar aku
sendiri saja yang menguburkan pakaian
itu". Akhirnya selesai sudah pakaian
Sinuhun dikuburkan di sana dengan
sempurna, yaitu di Gunung Kentaki yang
di sebelah timur itu. Akan tetapi bentuk
kuburannya tak terlihat karena diratakan
lagi dengan tanah. Hanya tandanya ialah
bahwa tak akan ada daun yang jatuh
keatas kuburan ini.
Sementara itu Tubagus Pase
datang ke Gunung Kentaki yang di
sebelah barat bersama para sentana
mantri. Mereka berkumpul di tempat itu
dan mereka menemukan bahwa jenazah
sudah tidak ada lagi, yang masih ada di
sana hanya Keris Naga dan Tasbih
Sinuhun. Sang keris menggelantung di
udara, merah membara bagaikan bintang
jatuh, sedangkan tasbihnya kemudian
dikuburkan di bumi mulia. Tempat itu
kemudian direka-reka menjadi berbentuk
makam, di Gunung Sembung. Terkenal
diantara rakyat kecil bahwa Sinuhun
Aulia, dimakamkan di Gunung Jati yang
di sebelah Barat itu, di tempat mana
dahulu beliau tinggal. Adapun Nyi Mas
Putri Jangkung, kemudian tinggal disana
menunggui kuburan suaminya dengan
penuh kasih sayang. Adapun Keris
Sangyang Naga kemudian terbang
melesat ke langit bagaikan bintang dan
jatuh masuk ke Dalem Agung, dan Keris
Sangyang Naga itu menghilang disana.
Catatan: Mengenai waktu wafatnya
Syarif Hidayatullah, ada beberapa
pendapat. Dalam History of Java ditulis
bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada
tahun 1428 Saka (1506 M) dalam "usia
yang sangat lanjut", tahun tersebut tidak
tepat karena pada waktu perang dengan
Galuh Pajajaran (Bab XXII) dimana
Sunan Gunung Jati masih berperan.
Dalam Negarakertabhumi, dan demikian
juga dalam Purwaka Caruban Nagari
bahwa Syarif Hidayatullah wafat pada
tanggal 11 Kresna-paksa, bulan
Badramasa tahun 1490 Caka (1568 M),
Sumber lainnya menyebutkan bahwa
Sunan Gunung Jati wafat pada tanggal
12 bagian terang, bulan Badra tahun
1490 Saka atau 19 Septem-ber 1568 M.
(Hasil alih aksara dan alih bahasa dari
naskah-naskah lama mengenai Babad
Cirebon dan Pajajaran post by Amman
W)
Hal Yang disembunyikan Oleh ALLAH SWT
Diawali dengan membaca Bismillahirohmaanirohim :
Setelah Allah SWT selesai menciptakan Jibrail
as dengan bentuk yang cantik, dan
Allah menciptakan pula baginya 600
sayap yang panjang , sayap itu antara
timur dan barat (ada pendapat lain
menyatakan 124, 000 sayap). Setelah itu
Jibrail as memandang dirinya sendiri
dan berkata:
“Wahai Tuhanku, adakah engkau
menciptakan makhluk yang lebih baik
daripada aku?.”
Lalu Allah swt berfirman yang
bermaksud.. “Tidak” Kemudian Jibrail
as berdiri serta solat dua rakaat kerana
syukur kepada Allah swt. dan tiap-tiap
rakaat itu lamanya 20,000 tahun.
Setelah selesai Jibrail as solat, maka
Allah SWT berfirman yang bermaksud.
“Wahai Jibrail, kamu telah menyembah
aku dengan ibadah yang bersungguh-
sungguh, dan tidak ada seorang pun
yang menyembah kepadaku seperti
ibadat kamu, akan tet api di akhir
zaman nanti akan datang seorang nabi
yang mulia yang paling aku cintai,
namanya Muhammad.’ Dia mempunyai
umat yang lemah dan sentiasa berdosa,
sekiranya mereka itu mengerjakan solat
dua rakaat yang hanya sebentar sahaja,
dan mereka dalam keadaan lupa serta
serba kurang, fikiran mereka melayang
bermacam-macam dan dosa mereka pun
besar juga. Maka demi kemuliaannKu
dan ketinggianKu, sesungguhnya solat
mereka itu aku lebih sukai dari solatmu
itu. Kerana mereka mengerjakan solat
atas perintahKu, sedangkan kamu
mengerjakan solat bukan atas
perintahKu.“
Kemudian Jibrail as berkata: “Ya
Tuhanku, apakah yang Engkau
hadiahkan kepada mereka sebagai
imbalan ibadat mereka?“
Lalu Allah berfirman yang bermaksud.
“Ya Jibrail, akan Aku berikan syurga
Ma’waa sebagai tempat tinggal…“
Kemudian Jibrail as meminta izin
kepada Allah untuk melihat syurga
Ma’waa. Setelah Jibrail as mendapat
izin dari Allah SWT maka pergilah
Jibrail as dengan mengembangkan
sayapnya dan terbang, setiap dia
mengembangkan dua sayapnya dia
boleh menempuh jarak perjalanan 3000
tahun, terbanglah malaikat jibrail as
selama 300 tahun sehingga ia merasa
letih dan lemah dan akhirnya dia turun
singgah berteduh di bawah bayangan
sebuah pohon dan dia sujud kepada
Allah SWT lalu ia berkata dalam sujud:
“Ya Tuhanku apakah sudah aku
menempuh jarak perjalanan
setengahnya, atau sepertiganya, atau
seperempatnya?“
Kemudian Allah swt berfirman yang
bermaksud. “Wahai Jibrail, kalau kamu
dapat terbang selama 3000 tahun dan
meskipun aku memberikan kekuatan
kepadamu seperti kekuatan yang
engkau miliki, lalu kamu terbang seperti
yang telah kamu lakukan, nescaya
kamu tidak akan sampai kepada
sepersepuluh dari beberapa perpuluhan
yang telah kuberikan kepada umat
Muhammad terhadap imbalan solat dua
rakaat yang mereka kerjakan…. .”
Marilah sama2 kita fikirkan dan
berusaha lakukan… Sesungguhnya Allah
S.W.T telah menyembunyikan enam
perkara yaitu :
1. Allah S.W.T telah menyembunyikan
redha-Nya dalam taat.
2. Allah S.W.T telah menyembunyikan
murka-Nya di dalam maksiat.
3. Allah S.W.T telah menyembunyikan
nama-Nya yang Maha Agung di dalam
Al-Quran.
4. Allah S.W.T telah menyembunyikan
Lailatul Qadar di dalam bulan
Ramadhan.
5. Allah S.W.T telah menyembunyikan
solat yang paling utama di dalam solat
(yang lima waktu).
6. Allah S.W.T telah menyembunyikan
(tarikh terjadinya) hari kiamat di
dalam semua hari.
Minggu, 24 Februari 2013
PERJALANAN SPIRITUAL SUNAN GUNUNG JATI
Rara santang yg menikah dengan Raja Mesir Ia melahirkan bayi kembar
laki-laki: anak pertama diberi nama
Syarif Hidayat, sedangkan anak kedua
syarif (Ng)aripin. Ketika mereka sudah
berumur 14 tahun, mereka rajin
mempelajari ilmu agama. Lebih-lebih
Syarif Hidayat, segala macam kitab
agama ia baca hingga akhirnya pada suatu hari di Gedung Agung dia menemukan sebuah kitab yang ditulis dengan tinta emas,sebuah kitab yang bernama “Kitab Usul Kalam”. Kitab ini memperinci hakekat Nabi Muhammad dan menjelaskan mengenai Allah Yang Maha suci.
Pupuh keduabelas
Sinom, 21 bait. Setelah membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep luwi, gegurua ing Mukhamad ( jika ingin menjdi manusia istimewa bergurulah kepada Muhammad ), Syarif Hidayat merasa setengah tidak percaya terhadap amanat yang tertera dalam
buku itu. Namun, dalam setiap tidurnya,ia selalu bermimpi melihat cahaya yang mengeluarkan suara: e Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun, lamon sira arep mulya, nimbangi keramat Nabi,ulatana sira guguru Mukhamad ( Hai Syarif Hidayat dengarkanlah petunjukku,jika engkau ingin menjadi manusia mulia sehingga dapat mengimbangi
keramat nabi, carilah dan bergurulah
kepada Muhammad ). Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya yang tidak berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji ilmu.
Meskipun demikian, hatinya teguh
hendak menuruti petunjuk kitab dan
panggilan mimpi. Ia memohon diri
kepada ibunya dan sudah tak dapat
dicegah lagi kemauannya. Ia tidak
tertarik pada kedudukan sebagai raja.
Syarif Hidayat mulai mengembara
mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke patilasan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga memperoleh petunjuk. Lalu, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan,membaca shalawat nabi, dan
mengucapkan taubat. Setelah itu, ia
melanjutkan perjalanan ke gunung
Jambini. Di sana, ia bertemu dengan
Naga Pratala yang menderita sakit
bengkak. Sang Naga minta diobati, dan Syarif Hidayat hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras puli kadi du ing kuna ( jika aku benar-benar dapat bertemu dengan Nabi Muhammad pastilah engkau sembuh ). Seketika Naga Pratala menjadi sembuh.Kemudian, ia memberikan sebuah cincin pusaka bernama Marembut yang berkhasiat dapat melihat segala isi bumi
dan langit. Oleh Naga Pratala, Syarif
Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti (Mardada) menemui pertapa di sana.
Pulau Mardada dihuni oleh binatang
buas dan berbisa yang sedang menjaga sebuah keranda biduri. Di sebuah cabang kay yang tinggi, Syarif Hidayat melihat ada seorang pemuda bernama Syekh Nataullah sedang bertapa.
Pemuda itu menjelaskan bahwa tidak
ada harapan untuk menemui orang yang sudah tiada, lebih baik berusaha
mendapatkan cincin Mulikat yang
berada di tangan Nabi Sulaiman. Ia
menjelaskan bahwa barang siapa
memiliki cincin Mulikat, ia akan
menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati oleh umat manusia. Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataullah bersama-sama mengambil cincin tersebut.
Pupuh ketigabelas
Kinanti, 30 bait. Ketika Syarif Hidayat
berada di makam Nabi Sulaeman,
jenazah Nabi Sulaeman seolah-olah
hidup dan memberikan cincin Mulikat
kepadanya. Syekh Nataullah mencoba
merebut cincin tersebut, tetapi tidak
berhasil. Tiba-tiba meledaklah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga yang sedang mengadu tenaga memperebutkan cincin tersebut terlempar. Syekh Nataullah melesat jatuh di pulau jawa,sedangkan Syarif Hidayat jatuh di Pulau Serandil.
Cerita dalam pupuh ini diselingi oleh
kisah Rarasantang yang merindukan
Syarif Hidayat. Sudah sepuluh tahun
Rarasantang ditinggal putranya. Ia
selalu berdoa agar anaknya mendapat
lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba, ia mendengar suara, ujarnya :
wondening anakira iku, waruju kang dadi aji, Banisrail kratonira, nama Sultan Dul Sapingi, mung kang dadi lara brangta,amung putranipun Syarip, lamon eman maring siwi, balik angungsiyang Jawa,
lamon arep ya pinanggi ( Anakmu yang muda itu akan menjadi raja, keratonnya di Baniisrail, bergelar Abdul Sapingi.
Jika engkau benar-benar merindukan
anakmu Syarip Hidayat, sebaiknya
kembalilah engkau ke Pulau Jawa.)
Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau Jawa menantikan anaknya di Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk Kahfi.
Cerita kembali ke Syarif Hidayat yang
jatuh di Gunung Surandil. Di sana, ia
melihat sebuah kendi berisi air sorga
yang sangat harum baunya. Kendi itu
mempersilahkan Syarif Hidayat
meminumnya. Karena ia hanya
menghabiskan setengahnya, kendi itu
meramalkan bahwa kesultanan yang
kelak akan didirikan olehnya tidak akan langgeng. Meskipun kemudian air kendi itu dihabiskan, namun yang langgeng hanyalah negaranya, bukan raja-rajanya. Setelah berkata demikian, kendi itu pun lenyap.
Syarif Hidayat kemudian bertemu
dengan Syekh Kamarullah. Atas
anjurannya, Syekh Kamarullah pergi ke Jawa dan menetap di gunung Muriya dengan gelar Syekh Ampeldenta. Dengan
demikan, sudah empat orang syekh dari Mekah yang tiba di tanah Jawa.
Pupuh keempatbelas
Sinom, 28 bait. Suatu ketika, Nabi
Aliyas ( Ilyas ) menyamar sebagai
seorang wanita pembawa roti. Ia
menawarkan kepada Syarif Hidayat
bahwa rotinya adalah roti sorga, dan
barang siapa yang memakan roti itu, ia akan mengerti berbagai macam bahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan, Inggris,cina,Turki.
Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari
Muhammad ikutilah seseorang yang
menunggang kuda di angkasa, dialah
Nabi Khidir yang dapat memberi
petunjuk. Wanita pemberi petunjuk itu
hilang seketika dan tiba-tiba di angkasa tampak seorang penunggang kuda.
Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di ekor kuda. Nabi Khidir—penunggang kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat terpelanting dan jatuh di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari.
Abdul Sapari memberinya dua butir
buah kalam muksan; sebuah dimakan
habis oleh Syarif Hidayat dan terasa
manis sekali, sementara sebuah lagi
disimpan untuk lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan itu menjadi pertanda bahwa kelak akan timbul tantangan-tantangan di saat Syarif Hidayat menjadi sulltan. Tidak demikian halnya jika dua buah itu dihabiskan sekaligus. Akhirnya, buah Kalam Muksan yang sebuah lagi segera dimakan, namun rasanya sangat pahit dan sangat menyakitkan seperti sakitnya orang menghadapi sakratul maut.
Ia pingsan seketika. Abdul Sapari
segera memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif Hidayat ke
bubungan mesjid. Dari situ, Syarif
Hidayat mikraj ke langit. Dalam
perjalanan mikraj, pertama kali ia
sampai di pintu dunia dan melihat
orang-orang yang mati sabil serta
mukmin yang alim dan kuat beribadat.
Di langit kedua, ia bertemu dengan roh-roh wanita yang setia dan patuh pada suami. Di langit ketiga, ia bertemu dengan Nabi Isa yang menghadiahkan nama Syarif Amanatunggal. Di langit
keempat, ia bertemu dengan ribuan
malaikat yang dipimpin oleh Jibril,
Mikail, Israfil, dan Izrail. Para
pemimpin malaikat juga memberinya
nama, antara lain, Malaikat Jibril
memberi nama Syekh Jabar, Mikail
memberi nama Syekh Surya, Israfil
memberi nama Syekh Sekar, dan Izrail
memberinya nama Syekh Garda
Pangisepsari. Di langit kelima, ia
bertemu dengan ribuan nabi, antara lain,
Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa.
Mereka juga menghadiahi nama baru
bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam
memberi nama Syekh Kamil, Nabi
Ibrahim memberi nama Saripulla, dan
Nabi Musa memberi nama Syekh Marut.
Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat
neraka, dinding jalal, dan meniti sirotol
mustakim. Akhirnya, ia tiba di langit
ketujuh dan melihat cahaya terang
benderang.
Pupuh kelimabelas
Kinanti, 26 bait. Di langit ketujuh Syarif Hidayat “bertemu” dengan Nabi
Muhammad yang sedang tafakur. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal.
Karena itu, ia tidak boleh mengajar umat manusia. Apalagi
karena di dunia sudah ada wakilnya,
yakni para fakir, haji, kitab Al qur’an,
puji-pujian, dan segala macam ilmu
telah lengkap di dunia. Akan tetapi,
Syarif Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin mendengar penjelasan langsung dari Nabi Muhammad, terutama tentang makna asasi kalimat syahadat dan
perbedaannya dengan zikir satari. Nabi Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan menganugerahkan jubah akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke tanah Jawa, dan berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta tetap memelihara dan menjaga syareat.
Syarif Hidayat lalu turun dari langit
ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang di
Ajrak dan kembali ke Gunung Jati. Di
sana, ia bertemu dengan bundanya yang sudah menjadi pertapa wanita bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh Nurjati telah pindah ke gua Dalam.
Pupuh keenambelas
Sinom, 27 bait. Syekh Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hidayat. Ketika tamunya datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar Syarif Hidayat menyusul ke Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung Gundul, tetapi Syekh Nurjati
pergi ke Gunung Jati. Akhirnya, atas
petunjuk cincin Marembut, ia
mencegatnya di tengah jalan. Keduanya mendiskusikan ilmu agama. Syekh Nurjati memberi nama syarif Hidayat dengan nama Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menjadi sultan bergelar Sultan Jatipurba.
Selesai mengutarakan pesan-pesannya,
Syekh Nurjati lenyap dan tidak pernah
muncul lagi sebagai Syekh Nurjati
melainkan sudah bernama Pangeran
Panjunan atau Syekh Siti Jenar, dan
bergelar Sunan Sasmita. Dengan
perantaraan cincin Marembut, Syarif
Hidayat melihat ke mana sebenarnya
kepergian Syekh Nurjati.
No comments:
Post a Comment